Oleh: O. Solihin Milis DT - Seorang ulama yang hidup di masa Abdul Malik bin Marwan, Sa’id bin Jubair, pernah mengatakan:“Tidak diterima suatu perkataan kecuali disertai amal, tidak akan diterima perkataan dan amal kecuali disertai niat, dan tidak akan diterima perkataan, amal dan niat kecuali disesuaikan dengan sunnah Nabi Saw." Saking pentingnya ihsan dalam beramal ini, sampai-sampai Imam Malik mengatakan: “Sunnah Rasulullah Saw itu ibarat perahu nabi Nuh. Siapa yang menumpanginya ia akan selamat; sedangkan yang tidak, akan tenggelam." |
Tradisi kaum muslimin di masa lalu berkaitan dengan amalnya dalam kehidupan sehari-hari selalu menyandarkan kepada tuntutan Allah dan Rasul-Nya. Sehingga untuk masalah yang kecil seperti bagaimana tatacara bersuci dari hadats besar atau kecil sampai urusan muhasabah (mengoreksi) penguasa selalu mengikuti petunjuk yang diberikan Allah dan Rasul-Nya. Tentu saja hal semacam itu menjadikan kaum muslimin generasi terdahulu senantiasa berada di jalur yang benar dalam aktivitas kehidupan sehari-harinya. Mereka berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan semata berlomba-lomba dalam banyaknya amal (perbuatan).
Firman Allah:
"..supaya Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya." (Qs. al-Mulk [67]: 2).
Jadi, bukan yang terbanyak amalnya yang akan dinilai oleh Allah, tetapi yang terbaik amalnya.
Namun, tradisi kaum muslimin generasi mutaakhirin (sekarang ini) ternyata sudah mulai melupakan atau bahkan tidak lagi menghiraukan rambu-rambu yang diberikan Allah dan Rasul-Nya ketika melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga wajar bila akhirnya kaum muslimin kesulitan sendiri dalam melakukan berbagai amal. Malah tak jarang yang akhirnya menempuh cara-cara yang tak pernah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Praktek-praktek KKN yang diduga kuat dibudayakan orde baru ternyata tradisinya masih terasa sampai sekarang.
Dalam urusan amar ma’ruf nahyi munkar kaum muslimin tidak lagi menempatkan dirinya pada posisi yang benar. Dengan kata lain, cara-cara yang ditempuh tidak sejalan dengan sunnah Nabi saw. Yakni cenderung brutal dan menghalalkan segala cara. Artinya, ketika akan meluruskan kesalahan, ternyata cara yang diambil justeru bertentangan dengan Islam. Jadi, membenarkan kesalahan dengan kesalahan.
Dengan demikian, amal yang baik (ihsan) menurut salah seorang guru Imam Syaifi’i, yakni Fudlail bin ‘Iyadl ketika menjelaskan ayat 2 surat al-Mulk [67] adalah amal yang paling ikhlas dan paling benar. Ketika ditanyakan. “Wahai Abu Ali, Apakah maksud paling ikhlas dan paling benar?" Beliau menjawab, “Sesungguhnya suatu amal sekalipun benar tetapi tidak dikerjakan dengan ikhlas, maka amal tersebut tidak akan diterima. Sebaliknya, jika dikerjakan dengan ikhlas namun tidak dengan cara yang benar, maka amal tersebut juga tidak akan diterima. Ikhlas hanya dapat terwujud manakala amal itu diniatkan secara murni kepada Allah SWT, sedangkan amal yang benar hanya dapat terwujud dengan mengikuti sunnah Nabi Saw." (Fauzy Sanqarth, At-Taqorrub ila Allah Thoriqut Taufiq).
Di antara tanda-tanda ikhlas adalah tunduk kepada kebenaran, dan menerima nasihat sekalipun dari orang yang lebih rendah tingkat ilmunya. InsyaAllah bila kita mengikuti perintah dan tuntutan dari Allah dan Rasul-Nya dalam beramal ini, amal yang kita kerjakan tidak akan sia-sia, dan tentu saja dinilai sebagai amal yang ihsan (baik). Wallahu’alam bishowab. (hayatulislam.net)
Firman Allah:
"..supaya Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya." (Qs. al-Mulk [67]: 2).
Jadi, bukan yang terbanyak amalnya yang akan dinilai oleh Allah, tetapi yang terbaik amalnya.
Namun, tradisi kaum muslimin generasi mutaakhirin (sekarang ini) ternyata sudah mulai melupakan atau bahkan tidak lagi menghiraukan rambu-rambu yang diberikan Allah dan Rasul-Nya ketika melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga wajar bila akhirnya kaum muslimin kesulitan sendiri dalam melakukan berbagai amal. Malah tak jarang yang akhirnya menempuh cara-cara yang tak pernah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Praktek-praktek KKN yang diduga kuat dibudayakan orde baru ternyata tradisinya masih terasa sampai sekarang.
Dalam urusan amar ma’ruf nahyi munkar kaum muslimin tidak lagi menempatkan dirinya pada posisi yang benar. Dengan kata lain, cara-cara yang ditempuh tidak sejalan dengan sunnah Nabi saw. Yakni cenderung brutal dan menghalalkan segala cara. Artinya, ketika akan meluruskan kesalahan, ternyata cara yang diambil justeru bertentangan dengan Islam. Jadi, membenarkan kesalahan dengan kesalahan.
Dengan demikian, amal yang baik (ihsan) menurut salah seorang guru Imam Syaifi’i, yakni Fudlail bin ‘Iyadl ketika menjelaskan ayat 2 surat al-Mulk [67] adalah amal yang paling ikhlas dan paling benar. Ketika ditanyakan. “Wahai Abu Ali, Apakah maksud paling ikhlas dan paling benar?" Beliau menjawab, “Sesungguhnya suatu amal sekalipun benar tetapi tidak dikerjakan dengan ikhlas, maka amal tersebut tidak akan diterima. Sebaliknya, jika dikerjakan dengan ikhlas namun tidak dengan cara yang benar, maka amal tersebut juga tidak akan diterima. Ikhlas hanya dapat terwujud manakala amal itu diniatkan secara murni kepada Allah SWT, sedangkan amal yang benar hanya dapat terwujud dengan mengikuti sunnah Nabi Saw." (Fauzy Sanqarth, At-Taqorrub ila Allah Thoriqut Taufiq).
Di antara tanda-tanda ikhlas adalah tunduk kepada kebenaran, dan menerima nasihat sekalipun dari orang yang lebih rendah tingkat ilmunya. InsyaAllah bila kita mengikuti perintah dan tuntutan dari Allah dan Rasul-Nya dalam beramal ini, amal yang kita kerjakan tidak akan sia-sia, dan tentu saja dinilai sebagai amal yang ihsan (baik). Wallahu’alam bishowab. (hayatulislam.net)
0 komentar:
Posting Komentar