Milis DT - Istilah pendidikan seks mulai sering di dengungkan. Diharapkan ia bisa menjadi obat ampuh untuk menanggulangi maraknya hamil di luar nikah. Bagaimana Islam menjawab hal ini?
Seiring perkembangan jaman yang semakin pesat, pola pertumbuhan anak muda pun ikut berubah. Seorang anak muda dengan usianya yang relatif masih “ingusan”, kadang mengalami ketidakseimbangan biologis dan mental. Di satu sisi, mereka sudah matang secara biologis, namun secara mental dan psikologis mereka belum matang. Bila hal ini tidak dilihat secara cermat oleh orang tua, anak muda tersebut bisa berbuat salah.
Kematangan mentalnya tidak bisa mengimbangi kematangan biologisnya yang semakin cepat berkembang. Hingga akhirnya bila ia tidak dapat mengontrol dirinya secara baik dan bijak, ia bisa terjerumus ke dalam lembah kehinaan. Atau dengan kata lain, bermunculanlah kasus hamil sebelum nikah, perzinaan, dan bahkan aborsi karena ketidakmampuan menyetabilkan antara sisi biologis dan mental.
Karena perlu diingat juga bahwa pemuda dengan usianya yang masih belia masih sangat rentan konflik dan letupan-letupan emosi. Bila tidak dapat mengaturnya secara baik, ia bisa terhanyut. Dan celakanya, perbuatan-perbuatan zina tersebut dilakukan dengan alasan yang sangat remeh. Umumnya mereka di desak dengan permintaan untuk membuktikan cinta kepada si pacar atau alasan-alasan remeh lainnya. Hal ini juga menunjukkan betapa lemah pola pikir anak muda dan betapa keropos iman mereka.
Fenomena memilukan tersebut sangat marak di kota-kota besar. Angak kehamilan di luar nikah melonjak drastis. Bahkan mengutip dari seorang ahli seksologi, menyatakan bahwa enam dari sepuluh remaja putri Indonesia sudah tidak perawan lagi. Ditambah lagi, data kongkrit membuktikan, 1,3 juta remaja kita setiap tahunnya melakukan aborsi, juga 20-25% remaja pernah melakukan hubungan seks di luar nikah.
Pendidikan seks dipandang bisa menyelesaikan persoalan tersebut. Dengan memberikan ilmu tentang seks yang benar diharapkan bisa mereduksi atau mengurangi maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja. Selain itu, program pendidikan seks juga terbukti berhasil di negara Australia, Thailand, Amerika,dan Eropa. Pendidikan seks terbukti melindungi remaja dari pengaruh buruk pergaulan bebas dan sama sekali tidak meningkatkan aktivitas seks remaja.
Namun, usulan ini ditentang oleh sebagian pendidik dan kalangan orang tua. Pendidikan seks tidak harus diajarkan secara khusus. Karena secara implisit, pendidikan seks dapat disisipkan dalam mata pelajaran yang lain, semisal ilmu biologi tentang alat reproduksi, sosiologi tentang hubungan antara dua jenis kelamin yang berbeda, agama dan olahraga. Ia tidak memerlukan ruang khusus untuk itu. Orang tua juga mengkhawatirkan hal ini. Sebab, selama ini seks adalah sesuatu yang tabu di masyarakat, ia tidak boleh disebut-sebut atau ditanyakan di keluarga.
Masih Ditimbang-timbang |
Sejauh ini masyarakat muslim masih menimbang-nimbang akan kelayakan pendidikan seks tersebut. Bagi orang tua, sebuah pilihan yang sulit harus diambil. Di satu sisi, mereka takut manakala anaknya kemudian melakukan eksperimen dan mencoba apa yang ia ketahui dari pendidikan tersebut. Artinya semakin ia tahu maka semakin ia ingin mencoba. Mengingat pendidikan ini lebih sensitif dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan fitrah seorang manusia. Dan orang tua tidak mengetahui dan tidak bisa mengontrol perkembangan anak-anaknya.
Tetapi di sisi lain orang tua sebenarnya berharap anak-anaknya memperoleh pengetahuan tentang seks secara benar. Sebab bila mereka mendapatkan pengetahuan seks dari teman sebaya, video porno, internet, dan jalur informasi lainnya, ia akan menerima informasi yang salah yang tidak layak bagi dirinya sendiri.
Maka sebenarnya akan sangat bagus bila keluarga menjadi tempat pertama bagi remaja untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Orang tua sangat berperan untuk memberikan pengetahuan yang benar tentang seks secara menyeluruh. Misalnya tentang perbedaan laki-laki dan perempuan secara fisik maupun secara hak dan kewajiban, tentang bagaimana memandang lawan jenis, bagaimana bila haidh, mimpi basah (ihtilam) dan persoalan junub serta jima’.
Bukan Versi Barat, tapi Versi Islam |
Islam sebenarnya juga telah mengenal pendidikan seks. Dan ia sama sekali berbeda dengan apa yang diajarkan oleh komunitas Barat. Di negara-negara Barat seks diajarkan secara vulgar, hal ini sangat dipengaruhi oleh budaya mereka yang serba boleh dan bebas.
Dalam buku Pendidikan Anak Dalam Islam, tulisan Dr Abdullah Nashih Ulwan dibahas secara detail tentang bagaimana seharusnya pendidikan seks diberikan kepada seorang anak. Beliau menjelaskan terlebih dahulu tentang pendidikan seks tersebut, yang dimaksud pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seks kepada anak, sejak ia mengenal masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan.
Sehingga ketika anak telah tumbuh menjadi seorang pemuda dan dapat memahami urusan-urusan kehidupan, ia telah mengetahui apa saja yang diharamkan dan apa saja yang dihalalkan. Lebih jauh lagi, ia bahkan mampu menerapkan tingkah laku islami sebagai akhlak dan kebiasaan hidup, serta tidak diperbudak syahwat dan tenggelam dalam gaya hidup hedonis.
Paling tidak ada beberapa fase yang harus dialami oleh seorang anak,
Pertama, fase usia 7-10 tahun, disebut masa tamyiz (masa pra pubertas). Pada masa ini anak diberi pelajaran tentang etika meminta ijin dan memandang sesuatu. Kapan ia boleh masuk ke kamar orang tua mereka, dan kapan mereka harus meminta ijin terlebih dahulu. Persisnya ketika waktu sebelum fajar, siang hari (ba’da dzuhur) dan ba’da isya’.
Kedua, fase usia 10-14 tahun, masa ini dikenal dengan sebutan masa murahaqah (masa peralihan atau pubertas). Pada masa ini anak dihindarkan dari berbagai rangsangan seksual. Apakah itu dari film, gambar atau hanya sekedar gerakan.
Ketiga, fase usia 14-16 tahun, disebut masa baligh (masa adolesen). Jika anak sudah siap menikah, maka mereka berhak mendapatkan pendidikan tentang etika (adab) mengadakan hubungan seksual. Mereka harus dipahamkan secara benar mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.
Keempat, setelah masa adolesen disebut masa pemuda. Pada masa ini diberi pelajaran tentang tata cara isti’faf (menjaga diri dari perbuatan tercela), jika ia belum mampu melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu, masa pemuda adalah masa yang paling rawan godaan atau fitnah, terutama fitnah syahwat. Bila ia lalai dan lengah, ia sangat mungkin terjerumus ke dalam maksiat.
Persis seperti apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wata'ala dalam sebuah ayat.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak kalian (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari, yaitu : sebelum shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian luarmu di tengah hari dan sesudah shalat isya’ (itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta ijin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin...” (QS An Nur : 58-59)
Peran Orang Tua, Guru dan Ustadz |
Satu hal yang perlu dicatat bahwa pendidikan seks yang diberikan harus proposional. Jangan sampai tidak tepat sasaran. Masalahnya, aspek kejiwaan seorang pemuda sangat berpengaruh. Oleh karena itu, seharusnya pendidikan ini harus dilakukan secara sinergis dari berbagai pihak, yaitu pihak orang tua, guru atau bahkan ustadz ngaji.
Selain itu, orang tua lah seharusnya yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya. Jangan sampai mereka mendapatkan pengetahuan yang salah dari teman dan kawan sebayanya. Pendidikan ini juga tidak memerlukan kurikulum khusus, mengingat ia bisa dilakukan secara tersisip dalam pelajaran lainnya.
Maraji’ : Tarbiyatul Aulad, Dr Abdullah Nashih Ulwan.
0 komentar:
Posting Komentar